MATA SETAN
Aku melihatnya disampingku tepat di kantin kantorku dengan
riuh tawa ,mengusik mengganggu jemariku yang beradu dengan keyboard. Seketika
menghening .Seketika ia bernyanyi dan bergumam sendiri,melirik layar notebook
yang ku kencani menemani makan setengah siang, aku tak menggubrisnya ia meneguk
habis botol minumannya. Mendaur ulang dahaga yang tersimpan.
Mata itu mengikuti alunan gerak tubuhku. Melejit menatapku
tajam layaknya anak panah dengan seribu bahasa tak terucap yang menelusuri
setiap lorong di rimba hati yang sunyi pekat lama tak terinjak. Kali ini seulas
senyum kusasarkan seperti granat tapi tatapan mata itu tak berhasil ku
ledakkan. Matanya semakin menyala-nyala. Aku ingin lari dari mata itu.
“Hai Rona,aku Surya”
Tak kusangka ia berani bersuara,aku sangat terkejut . Jemari
halus tak tersentuh rentengan benda kasar menjulur kearahku. Aku menggigil
ingin pergi ,batinku. Tetap saja tangan kita beradu pasti, mungkin dia merasa
tidak enak dengan caraku melihatnya. Aku juga.
“Dari mana kau tau namaku?” Tanyaku, sedikit berbasa basi
tampaknya tidak begitu sulit.
“Aku menemukanmu seperti cahaya siang yang terik diatas
fontanel begitu mudah, Rona Mentari” ucapnya dengan yakin.
“Hahaha” Aku tertawa mendengar bicaranya dan tata bahasanya
yang sok pujangga, sepertinya dia hendak memodusiku.
“Hmmp..Surya ya, kedengarannya ‘kokoh’ tapi aku sedang
merindukan bulan” balasku dengan nada sedikit bercanda.
“Bulan?,kau hanya akan merasakan persimpangan yang silih
berganti” tanyanya lagi yang menjengkelkan.
“Aku percaya pada gerhana” tegasku.
Dia memandangiku sejenak lalu pergi meninggalkan bangku dan
sedotan dalam botol minumannya. Aku kembali membuat rentetan kata diatas
notebook. Deadline.
Esoknya, senja di persimpangan.
Lalu lalang penduduk berhamburan dengan asap-asap yang mengepul dari kendaraan. Menuju pusat kota. Langkahku beralih mengikuti jejak para penduduk dengan desas desusnya dengan irama keingintahuanku yang bertalu-talu. Puluhan orang berkumpul disana melihat sebuah rumah yang hangus dilalap api. Aku melihat mata itu lagi diantara orang-orang diantara puing-puing yang tersisa. Mata yang mengisyaratkan kepuasan.
Lalu lalang penduduk berhamburan dengan asap-asap yang mengepul dari kendaraan. Menuju pusat kota. Langkahku beralih mengikuti jejak para penduduk dengan desas desusnya dengan irama keingintahuanku yang bertalu-talu. Puluhan orang berkumpul disana melihat sebuah rumah yang hangus dilalap api. Aku melihat mata itu lagi diantara orang-orang diantara puing-puing yang tersisa. Mata yang mengisyaratkan kepuasan.
“Surya” teriaku lantang . Kali ini dia berlari menghindariku
menghilang diantara sesaknya penduduk ,kalut,kebakaran jenggot. Aku sama sekali
tak mengenalnya sebelum pertemuan dan jabat tangan d kantin kemarin. Siapa dia?
Kurogoh catatan kecilku dari dalam tas. Ini akan menjadi berita yang cukup
menarik ketika ku tanya pada seorang warga dan saksi mata perihal kebakaran
ini.
Menurut warga tempat ini diduga lahan perdagangan narkoba namun tak dapat dipastikan siapa pelakunya. Tiga minggu yang lalu aku mendatangi tempat ini demi berita besar yang kucetak di media masa. Artis papan atas terlibat dalam transaksi jual beli narkoba aku sempat mencetak fotonya dan hendak mengirimnya ke redaksi melanjutkan beritaku. Kembali teringat pada foto yang kucetak aku bergegas kembali menuju kantor redaksi dengan langkah cepat dihantui gelisah.
Menurut warga tempat ini diduga lahan perdagangan narkoba namun tak dapat dipastikan siapa pelakunya. Tiga minggu yang lalu aku mendatangi tempat ini demi berita besar yang kucetak di media masa. Artis papan atas terlibat dalam transaksi jual beli narkoba aku sempat mencetak fotonya dan hendak mengirimnya ke redaksi melanjutkan beritaku. Kembali teringat pada foto yang kucetak aku bergegas kembali menuju kantor redaksi dengan langkah cepat dihantui gelisah.
“Surya” aku terbelalak melihat sosok itu ada dalam foto yang
kucetak. Ya bersama tokoh papan atas dibelakangnya memang tak tampak jelas .Aku
sangat yakin.
“Kring. Kring”
“Halo?”
“Tut,tut,tut”
Belum sempat kudengar suara dari balik telepon. Malam kian menyelinap memasuki rongga
waktu bersembunyi dibalik jarum jam yang terus bergerak. Aku masih berkutat
dengan pekerjaanku jam 9 malam. Aku ingin pulang,kuhela napas mengusir penat
dan gelisah yang menggelayut sejenak kutatap photo yang tergeletak diatas
tumpukan kertas-kertas yang memuat tulisan gagalku . Mengapa wajahnya ada
disana, mataku mulai memicing sinis membolak balik kertas hingga kumal namun
tetap saja tak memberi jawaban. Mengapa pula dia datang ke redaksi tempatku
bekerja.
Jam 11 malam ketika rembulan sedang asik bercumbu dengan hawa dingin yang menyusup tulang kupandangi bintang yang sebagian tertutup awan. Aku berjalan gontai dengan ketukan sepatu berhak 5 cm menenteng kertas dengan guratan mata kuyu. Langit yang kulihat hitam membuat uap keluar dari mulutku. Untung saja malam ini hujan belum merindukan tanah bumi.
“Menunggu
gerhana?” suara itu tiba-tiba muncul disamping telinga kiriku. Suara
Surya, aku terkesiap, kaget.
“Mengapa
aku harus menunggu gerhana, tidak,
kenapa kau bisa ada disini membuatku takut saja?”
“Aku
hanya sedang berjalan-jalan,dimana rumahmu?” tanyanya dengan wajah ceria
“10 menit dari sini dengan berjalan kaki” jawabku seraya
mempercepat derap langkah
“Wanita cantik bahaya loh berjalan kaki sendirian”
Sejenak kutatap matanya, dingin terlintas relung sepi yang
menggelayuti bola matanya. Ah foto itu.
“Sur,boleh aku bertanya sesuatu padamu? Ini soal..”
“Soal matematika? Oh bukan ya, pasti soal kenapa aku tahu
namamu. Ya iyalah aku melihat kalung tanda pengenalmu” Surya terkekeh.
Pandangannya ditenggakan pada langit malam itu, tampak resah.
“Rona,sepertinya aku harus pergi sekarang maaf tidak mengantarmu pulang”
“Rona,sepertinya aku harus pergi sekarang maaf tidak mengantarmu pulang”
Tak sempat kuselesaikan kalimatku Surya pergi dari hadapanku
melambaikan tangan ke samping trotoar menghentikan laju mobil biru
berlambangkan burung kecil sebut saja taksi, dengan tergesa-gesa ditutupnya
pintu mobil.
“Hei, dasar cowok aneh datang tak di undang pulang tak
diantar” aku berteriak
“Nanti aku akan menghubungimu,aku janji, see you” dari dalam
taksi ia melambaikan tanganya dan membalas teriakanku.
Taksi itu melesat cepat jalan memang sepi malam ini,hening
dan berdebu yang ramai hanya lampu-lampu dari bilik pertokoan cahayanya
bercumbu dengan angin yang menyelinap melalui mantelku. Aku kembali melangkah
gontai.
“Kring,Kring”
Nomer telepon yang dirahasiakan. Siapa?
“Hallo”
“Rona?”
“Ya,siapa disana dan ada perlu apa?”
“Aku surya”
Tiba-tiba angin kencang mengibaskan rambut
panjangku,beberapa lampu penerang jalan didepanku mati. Aku merasa dibuntuti
seseorang dibelakangku namun aku hiraukan.
“Surya? Dari mana kau tau nomerku”
“Angin yang berbisik padaku”
“Ah kau ini ada-ada saja”
“Benar,kau sudah sampai rumahmu?”
“Belum,aku masih dijalan. Kau cepat sekali meneleponku baru
saja aku melihat kau pergi”
“Rona, hati-hati”
“Tentu,aku selalu berhati-hati”
“Tidak,hati-hati”
“Maksudmu?”
“Tut,tut,tut”
Sinyal dalam handphone yang kudapat sangat buruk. Rasa cemas
mulai menghantuiku,aku tak mengerti. Penasaranku belum terjawab,aku tak dapat
menghubunginya aku hanya dapat menunggu dihubungi lagi. Kulambaikan tangan yang
menggenggam handphone jauh-jauh ke langit berharap sinyal kembali merasuki
layar handphone tua. Melompat-lompat hingga kakiku tergelincir diatas aspal di
dekat rimbunan pohon-pohon. Dan,
“Ckiiit”
Tubuhku tergeletak tak sedetikpun dapat kugerakan aku hanya
dapat merasakan tangan seseorang yang dingin menyentuh pipiku,dalam samar-samar
seorang pria mencoba menyadarkanku seseorang dengan mata itu. Kudengar suara
kerumunan orang-orang, senyap ,semakin senyap dan hilang. Aku tak dapat
merespon sama sekali mencoba melihat dalam keremangan lalu gelap tapi aku masih
merasakan tangan dingin. Dingin yang membuatku merasa lebih tenang,tak ada rasa
sakit disana aku terbuai dalam kenyamanan layaknya mimpi tengah malam di tepian gunung seraya menghela napas
panjang lalu menghirup udara yang menyatu dengan embun pagi mata yang
dimanjakan dengan sunrise. Namun kabut hitam dengan seperangkat gelegarnya
membawa seseorang ,matanya menyala-nyala,merah melotot seperti setan sekujur
tubuhnya hangus tangannya yang terbakar meraih-raih tubuhku hendak menjatuhkanku
mendorongku hingga aku tergelincir dari tepian gunung. Aku ketakutan, sungguh
tapi sosok itu semakin mendekatiku. Semakin aku takut tangannya semakin
mendekat hingga akhirnya aku melihat kedalam matanya tanpa lisan terucap aku
terhipnotis kedalamnya. Tangannya menyentuh pipiku dingin yang kukenali.
“Surya,kau kah itu?”
“Pulanglah,kembalilah Rona”
Bisiknya pelan. Entah apa yang kini kurasa aku tak ingin
kembali aku terus melihat kedalam matanya aku terus menelusuri memori yang
tersirat terbaca tapi tak dapat kupahami dengan nalarku aku hanya bisa
merasakan tanpa bisa berfikir. Tubuhnya memeluku erat seperti magnet yang
bertemu dengan kutub utara dengan kutub selatan erat merekat,tarik menarik.
“Kembalilah, semuanya belum selesai”
“Aku akan menunggu gerhana disini,ini tempatku dimana
mentari begitu dekat”
“Tidak akan ada gerhana kau terlalu jauh melangkah melewati
batas waktu”
“Surya”
Aku melihat tubuhnya yang terbakar berubah menjadi bercahaya
utuh seperti bayi yang terlahir ke bumi tanpa dosa,halus dingin yang
menentramkan. Matanya menyejukan, tubuhnya semakin memeluk erat aku menyentuh
pipinya langit berubah jingga aku masih disana tak ingin pergi. Aku tak tau
asalku. Mulaku. Kemana tempatku kembali yang dimaksud. Hingga aku merasakan sesak
dalam pelukannya. Dia bergumam menyebutkan namaku.
“Rona,rona”
Aku sesak. Sesak .Sulit bernafas tubuhku kaku tapi aku dapat
mendengar suara itu. Pandanganku gelap.
“Rona”
“Surya?”
“Alhamdulillah,rona akhirnya kamu ..” dengan isak tangis dan
haru seorang pria tersenyum padaku.
“Dani, aku dimana?”
“Rona,kamu sudah sadar nak?”
“Ibu?”
“Ka Rona”
“Rani?”
Mereka semua tersenyum melihatku Dani teman satu kantorku
sahabatku sejak kecil menggenggam tangan kiriku terlihat lelah dibalik
senyumannya. Ibu tak berhenti membaca ayat suci disamping telingaku,membaca
hamdalah berulang-ulang seraya mengusap-usap keningku. Rani adiku memandangiku
rindu aku merasa meninggalkan tawa bersamanya lama sekali. Hari itu dimana
gerhana matahari muncul dokter dan suster menghampiriku. Menceritakan padaku
kejadian dua tahun lalu. Ya dua tahun, selama itu aku terbaring koma di ranjang
rumah sakit akibat kecelakaan mobil yang menghantamku malam hari sepulang dari
kantor, usai bertemu Surya. Surya,siapa Surya?
“Rona, aku mendengar kau menyebut nama laki-laki saat kau
sadar,siapa dia lalu apa yang kau rasakan dalam tidur panjangmu?”
Dani terus bertanya padaku tanganya tak diam mencoba terus menyuapiku
bubur tak puas rasanya jika belum masuk melewati kerongkonganku. Aku terdiam
sejenak,mencoba mengingat kembali. Hampir hilang sebagian memoriku.
“Dani,maaf aku lupa”
“Sebelum kecelakaan terjadi aku melihat sesuatu yang ganjil
tentangmu. Dikantin kau berbicara sendiri tersenyum sendiri dan kau kerap kali
menyebutkan nama Surya, maaf aku begitu memperhatikanmu meski tak kamu
pedulikan, malam harinya aku begitu khawatir dan memutuskan untuk membuntutimu
sebelum mobil melaju kencang dan menabrakmu,saat itu aku berlari kearahmu
dengan penuh kecemasan dan rasa takut aku merasa bersalah membiarkanmu
sendirian,aku sangat takut tak dapat berbicara lagi denganmu”
“Benarkah itu yang terjadi? Aku tak tau soal itu.”
“Lupakan,satu suapan lagi kita kembali kerumahmu,pasti kau
sangat merindukan kamarmu”
Dalam perjalanan pulangku. Seperti melihat dunia baru banyak
yang berubah sebagian taman telah menjadi rumah. Pusat kota dan pertokoan
sedang dibangun menjadi mall. Namun kulihat dari balik jendela mobil tempat
yang kukenali,pernah kusinggahi,pernah kujadikan berita disana. Aku
mengingatnya puing-puing yang terbakar hangus.
“Ada apa Rona?”
“Dani,tempat itu?”
“Oh itu, dulu tempat itu dibakar oleh seorang polisi
beritanya dimuat dikoran tak lama setelah beritamu.Namun sayang polisi itu ikut
menjadi korban kabarnya polisi itu dihajar habis-habisan sebelum ada yang
menolongnya. Yang tak habis pikir kenapa polisi itu membakar tempat itu ya,apa
tidak ada cara lain. Ah aku tak peduli. Lagipula itu sudah lama terjadi”
“Aku ingin ke kantor,sekarang!”
“Tapi Rona,kamu masih lemah”
“Please Dan,sekarang aku perlu tahu sesuatu mengenai
kejadian ini”
Aku mengobrak-abrik koran di kantor redaksiku. Aku menemukan
sosok berseragam coklat mengenakan pangkat aku begitu mengenali matanya aku
yakin dia Surya. Mata itu bukan mata setan mata itu mata malaikat mata itu yang
membawaku kembali. Air mataku membendung di pelupuk hingga jebol membanjiri
pipiku.
“Dani,aku tau siapa Surya”
Dani menatapku dan memeluku erat.
Bandung, 26 januari 2014
Oleh : Arimbi Yoannira
Oleh : Arimbi Yoannira